Sebagai tujuan wisata unggulan yang di dominasi masyarakat Hindu, Bali ikonik dengan ragam pura eksotik. Pura Ulun Danu Bratan menawan dengan danau menenangkan. Pura Uluwatu hadir dengan sunset yang dirindu. Tanah Lot jelas mengagumkan, sedangkan Pura Lempuyang adalah eksotika lain yang pasti terkenang. Meski pantai tetap menjadi menu utama wisata Bali, budaya religiusitas Bali menawarkan daya tarik tersendiri. Arsitektur pura beserta kedamaian dan lanskap alam yang melingkupinya secara magis menarik banyak kunjungan wisatawan. Jadi, ketika liburan ke Pulau Bali, pastikan ada satu dua pura yang Anda kunjungi. Berkunjung ke Pura Lempuyang merupakan salah satu rekomendasi terbaik. Melengkapi koleksi objek wisata di Karangasem Bali, pura ini adalah satu yang paling ikonik mewakili eksotika Pulau Dewata. Beralamatkan di Desa Bunutan, Kecamatan Abang, Karangasem, Bali. Lanjutkan membaca untuk memperkaya informasi. Daya Tarik Pura Lempuyang Luhur Bali Pura Lempuyang Luhur merupakan pura tertinggi yang berada di puncak Gunung Lempuyang Karangasem Bali. Salah satu pura yang sangat dihormati oleh masyarakat Hindu Bali. Termasuk satu di antara Sad Kahyangan Jagad enam tempat suci dunia atau enam tempat persembahyangan paling suci di Pulau Dewata Bali. Dalam sejarah, tempat sembahyang di sekitar Gunung Lempuyang termasuk yang tertua. Pendirian kompleks Pura Sad Kahyangan Luhur Lempuyang diyakini mendahului kebanyakan pura di Pulau Bali. Selain Pura Lempuyang Luhur di puncak, ada Pura Penataran Agung Lempuyang yang juga terkenal di kalangan wisatawan. Karena berada di ketinggian, kompleks pura ini unik dengan lanskap indah memanjakan. Kemurnian alamnya tak terjamah membentang memadukan lembah dan pesisir timur Bali. Pemandangan menakjubkan tersebut menyumbang pesona tersendiri yang mampu menarik banyak wisatawan, selain sakralitas kompleks puranya. Trekking menjadi aktivitas yang tak bisa traveler hindari, khususnya jika ingin mencapai "gerbang surga" atau "gates of heaven". Istilah ini merujuk pada spot paling populer yang menempati bagian pura tertinggi. Tidak tanggung-tanggung, untuk mencapainya setiap wisatawan harus mendaki 1700 anak tangga dari area parkir. Spot "gerbang surga" atau "the gate of heaven" di Pura Lempuyang Karangasem Bali terkenal karena banyak beredar foto di media sosial yang menggambarkan refleksi air. Seolah terdapat kolam air berlatar gerbang Pura Lempuyang dan Gunung Agung. Alhasil, terciptalah bayangan ketika pengunjung berfoto di gerbang pura itu. Secara nyata hasil foto semacam itu hanya bisa traveler dapatkan di musim penghujan ketika pelataran pura tergenangi oleh air. Selebihnya saat musim kemarau, pengunjung tetap bisa mendapatkan foto yang mirip namun dengan memanfaatkan cermin. Trik inilah yang sejauh ini dilakukan oleh jasa potret di objek wisata ini. credit roadtripwithraj Fasilitas Wisata dan Harga Tiket Masuk Harga tiket atau biaya masuk tempat wisata ini berkisar IDR Biaya tersebut sudah termasuk tiket berfoto dan menyewa kamben atau sarung. Sebagai tempat suci, memakai kamben atau sarung merupakan syarat wajib bagi siapapun untuk menjaga kesopanan memasuki komplek pura Gunung Lempuyang. Fasilitas umum berupa warung makanan dan kamar mandi tersedia di sekitar lokasi. Area parkir tersedia, namun untuk mobil hanya bisa parkir di bawah. Untuk naik ke atas, ada bus pengantar dengan biaya sekitar IDR Jika Anda datang menggunakan sepeda motor, bisa langsung naik dan parkir di area atas. Pura Lempuyang Luhur Bali merupakan tempat sakral yang mewajibkan siapapun mentaati sejumlah aturan. Misalnya, tidak boleh berfoto dengan mengangkat kaki terlalu tinggi dan tidak boleh berkata kotor. Dan beberapa aturan lain, termasuk dilarang naik melalui tangga bagian tengah, bisa naik di tangga kanan-kiri. Lokasi Lempuyang Temple Karangasem Komplek Pura Sad Kahyangan Luhur Lempuyang beralamatkan di desa adat Purwayu, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem, Bali. Kurang lebih 10 km atau 20 menit berkendara dari Tirta Gangga Water Palace maupun dari ibukota Karangasem, Amlapura. 30 menit dari Amed atau 45 menit dari Candidasa. Jika berangkat dari Bandara Internasional Ngurah Rai Bali, Anda perlu berkendara kurang lebih 90 km dengan durasi perjalanan sekira 2,5 jam. Atau, 80 km dari Kota Denpasar. Meski jauh, akses jalannya mudah melalui Jalan Prof. Dr. Ida Bagus Mantra. Untuk kemudahan, manfaatkan Peta Rute dan Lokasi. Bhie Seorang blogger pengguna Linux yang suka menjelajah alam, cukup sering membaca buku, dan melakukan banyak hal menarik lainnya. Sementara itu saja dan semoga artikel di sini bermanfaat untuk Anda!
TeksMaryo Kempes, Foto Ilustrasi Sanat Kumara Pura terbesar di Denpasar ini bukan hanya untuk tempat sembahyang. Bisa jadi tempat Tak Hanya Sembahyang di Pura Jagatnatha - BaleBengong.id – Pura Lempuyang yang berada di Karangasem, Bali merupakan pura yang memesona. Meski seorang turis mengaku kecewa usai berkunjung kemari lantaran aslinya tak seheboh gambar yang dilihatnya di instagram, Pura Lempuyang tetap menyimpan banyak keunikan. Bagi masyarakat Bali, Pura ini dianggap suci dan masuk ke dalam Pura Sad Kahyangan. Nah, jika Kamu ingin berkunjung ke Pura Lempuyang berikut ini beberapa panduan untuk Kamu yang ingin datang ke Pura Lempuyang 1. Datanglah Pagi Hari ke Pura Lempuyang Waktu paling direkomendasikan untuk berkunjung ke Pura Lempuyang adalah saat pagi hari. Pemangku di Pura Lempuyang Luhur mengatakan pagi hari menjadi saat yang cocok untuk penyucian juga Viral, Turis Asing Kecewa saat Berburu Foto Pura Lempuyang Bali Dengan berkeliling ke tujuh pura, wisatawan bisa menghirup udara Bukit Lempuyang yang bersih dan segar. 2. Ambillah Gambar dengan Posisi yang Tepat Wisatawan yang datang ke pura dan ingin mengambil foto, biasanya mengambil sudut pengambilan gambar gapura pura. Dengan sudut pengambilan foto yang tepat, di tengah gapura tampak Gunung Agung dalam ukuran presisi. Baca juga Kisah Nyata saat Berburu Berfoto Instagramable di Pura Lempuyang BaliFoto yang beredar di instagram, bahkan banyak yang menggunakan aplikasi pembesaran obyek yang ada di smartphone untuk mendapatkan efek Gunung Agung terlihat besar. Tanpa menggunakan, jasa ilusi foto sebenarnya wisatawan juga bisa memanfaatkan pantulan air hujan yang ada ketika sedang musim hujan untuk mendapatkan efek pantulan pura di air. 3. Persiapkan Fisik / Silvita Agmasari Pura Lempuyang Luhur, Karangasem, Bali. Guna mencapai Pura Lempuyang yang ada di puncak Gunung Lempuyang, maka wisatawan harus melewati anak tangga. Pura ini berada di ketinggian meter di atas permukaan laut, karena itulah sebelum kemari persiapkan fisik sebaik mungkin. Ada baiknya pengunjung makan dahulu, dan membawa air putih untuk minum saat kemari. 4. Taati Aturan Karena Pura Lempuyang digunakan sebagai tempat ibadah, maka ada beberapa aturan yang harus ditaati wisatawan. Diantaranya adalah tidak boleh memasuki Pura bagi wanita yang sedang dalam kondisi haid, tidak boleh mengambil foto dengan mengangkat kaki terlalu tinggi, karena akan dianggap tidak sopan. Serta tidak diperbolehkan bicara kotor selama berada di lingkungan Pura. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Pura ini terletak di puncak bukit Bisbis, termasuk wilayah kecamatan Abang, Kabupaten Daerah Tingkat II Karangasem, sebagai tempat suci untuk memuliakan dan memuja Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam perwujudannya sebagai Icwara. Pura ini berstatus sebagai salah satu “Sad Kahyangan Jagad” sehingga dengan demikian jelas bahwa pura ini merupakan penyungsungan jagat yg terletak pada arah timur pulau Bali. Dengan demikian dilihat dari segi letak, dapat dijelaskan bahwa fungsi dari pura ini sebagai perlambang untuk menjaga keseimbangan alam semesta. Berdirinya Pura Lempuyang Luhur ini tidak dapat dipisahkan dengan peristiwa turunnya “Bhatara Tiga” pada zaman dahulu dari gunung Semeru di Bali dan kejadian-kejadian sesudah peristiwa tersebut. Dari sekian banyak sumber , ada baiknya dikutip tiga buah diantaranya, yaitu 1. Babad Pasek Di Dalam Babad Pasek ini antara lain diuraikan demikian Malawas lawas ayusa ikang rat 70 tahun, dina, Ka, Su, Tolu, sasih Kalima, tang ping 5, rah panenggek 1, tandwa hana riris deres, ketug dahat banter, lindu 2 sasih tahun icaka 113, malih makepelug hyanghing tolankir, mijil Bhatara Putrajaya tumut arin Ida Bhatari Dewi Danuh, tumurun maring Besakih, abhiseka Bhatara Mahadewa, arine Bhatari Dewi Danuh, aparhyangan maring hulun danu, mwah Bhatara Gnijaya aparhyangan maring giri Lempuyang duking lumampah Bhatara Tiga tinuduh de Bhatara Pacupati “Kita Mahadewa mwang Danuh, Gnijaya, agelah ta kita ku kinon samangke, tumedun wontening Balirajya, didine tistis kang Balipulina, kita maka panghuluning Bali”, mangkana andika Bhatara Pacupati, neher matilar Bhatara Tiga, anging hana atur ira ”Singgih Hyang Bhatara dening nanak Rahadyan Bhatara kari rare, durung weruh maring wratmika”, mangkana atur Bhatara Tiga. Sumahar Bhatara Pacupati, ling ira ”Aja walat hati hulun lugraha maka awantha, apan kita anang manira, puja den ira agya siniwi maring Bali”, ri wus samangkana, raris sinaput bhatara tiga, olih toktoking nyuh gading de Bhatara Pacupati, wus sinaputan, winasta olih Bhatara, awtning takya ajnanan, wus mangkana lumaku Bhatara Tiga, raris dteng arnawan awan ira, mangkana pawijilan bhatara nguni…..dan seterusnya Artinya kurang lebih seperti berikut Lama kelamaan berumur dunia ini 70 tahun, pada hari Sukra Keliwon, wara Tolu, sasih Kalima sekitar bulan November tanggal ping 5, rah panenggek 1, lalu turun hujan lebat, halilintar sambung menyambung, gempa bumi, selama 2 bulan, tahun icaka 113 tahun 191 M, lagi meletus gunung Agung tersebut. Keluar Bhatara Putrajaya, ikut adik beliau Bhatari Dewi Danuh, tiba di Besakih, dengan bergelar Bhatara Mahadewa, adiknya Bhatari Dewi Danuh, berparhyangan di Hulun Danu sedang Bhatara Gnijaya berparhyangan d gunung Lempuyang. Tatkala berangkat Bhatara Tiga di perintahkan oleh Bhatara Pacupati “Kamu Mahadewa dan Danuh, Gnijaya segera kamu kuperintahkan sekarang juga, datang di pulau Bali, supaya menjadi stabil pulau Bali, kamu sebagai pimpinan bali, demikian bersabda Bhatara Pacupati, lalu berangkat Bhatara Tiga, akan tetapi ada atur beliau “Ya Hyang Bhatara oleh karena putera Rahadyan Bhatara masih anak-anak, belum mengetahui pada jalan”, demikian atur Bhatara Tiga. Dijawab oleh Bhatara Pacupati, sabda beliau ”Jangan susah hati akan kuberikan petunjuk jalan, sebab kamu anakku, junjunglah terimalah olehmu untuk dimuliakan di Bali, sesudah demikian lalu dibungkus Bhatara Tiga, dengan kepala gading oleh Bhatara Pacupati, setelah dibungkus, digaibkan oleh Bhatara, dengan kekuatan bathin, dan sesudah apa berangkat Bhatara Tiga, lalu sampai perjalanan beliau, dengan demikian tibanya Bhatara dahulu……dan seterusnya. 2. Lontar Kutarakanda Dewapurana Bangsul Didalam lontar Kutarakanda Dewapurana Bangsulada disinggung mengenai Lempuyang, yang antara lain disebutkan sebagai berikut Na wuwus Sanghyang Paramecwara ri tanayan ira para watek Dewata samudaya, muka mukya sira Sanghyang Gnijayacakti, ling ira ”Aum ranak mami ri kita makabehan, adon sira turuna mareng banwa ing Bangsul, kumemit kang Bangsuri, maneher kita Dewata luminggeng haan rumaksa kang rat, wenang pinilih ikang gunung maka stanata sowing-sowang, ginawe Kahyangan, wuwus hana gunung-gunung saider ing banwa Bangsul, piniyoghaken mami ing dangu, mwang ginawan mami sangke Jambhudwipa nguni, mami nenah aken maring Bangsul, Sanghyang Mahameru pangaranya dak mami pukah madyanya atut pucaknya, dak sun waweng Bangsul, sapraptan irang Bangsul maha kweh pukahnya, arimbag abungkul agung alit manuli tiba ring bhumi, saha ungguhanya matemahan geger-geger, mwang pagunungan, werdhi maring Bangsul, an mangkana anakku Dewata kita kabeh, hana katemu denta gunung Agung, tinengeran giri raja, maring Airsanya, ya ta gunung mas mapucak manik, adasar ratna kopala winten, akrikilmirah, apasir podhi, ya tika agran ira Hyang Mahameru gnuni, ingsun, ingsun, ginawa mareng bangsul, sun parah tiganen, kang sabagi dadi gunung Batur, maka dadi daour candi Hyang Agni siring pratiwi tala, ikang sabagi isornya, sundadya akna gunung Rinjani, ikang pucuk dadi ira dadi Hyang Tolangkir, ngaran gunung sasor nikang gunung Agung ika lwirnya, saka purwa amilangi, kawruh akna pangaranya, gunung Tasahi, kulonya gunung Pangelengan, kulonya gunung Mangu, kulonya gunung Cilanjana, kulonya gunung Beratan, kulonya gunung Watukaru, kulonya mwah pagunungan Nagaloka, kulonya mwah, nga, gunung Pulaki, mangidul Wetan sakeng rika hana gunung Pucaksangkur, Bukit Rangda, tratebang, Mangetanya mwah hana Padangdawa, mwah ikang pasisi Kidul, hana gunung Andakasa mwang Huluwatu, terus mangetana maring ghneya desan ira hana gunung Byaha, mwang Byasmuntig, ikang maring Purwa hana gunung Lempuyang, mangalora saka rika hana gunung Sraya, samangkana pasama dayaning acala sumimpa maring bangsul, ndan makweh kari geger kang maring madya, tan ucapa akna. Ika ta kabeh wenang maka ungguhaning dharma kahyangan para Dewata kita makabehan. Artinya kurang lebih demikian Demikian sabda Sanghyang Paramecwara kepada puteranya para dewata sekalian, terutama sekali Sanghyang Gnijaya cakti, sabda beliau “Wahai anakku kamu sekalian, kamu kusuruh datang di daerah Bali, menjaga pulau bali, lalu kamu menjadi Dewata selaku penguasa di sana, boleh memilih gunung sebagai tempat tinggalmu masing-masing, membuat kahyangan, sudah ada gunung-gunung diseluruh daerah Bali, yang adanya itu berkat yoghaku dahulu, dan aku bawa dari India dahulu, aku tempatkan di daerah Bali, Sanghyang Mahameru namanya yang aku potong pertengahan termasuk puncaknya, dan aku bawa ke Bali, setibanya di Bali banyak bagian-bagiannya, menjadi pecahan besar kecil kemudian ditempatkan di daratan, serta letaknya menjadi gundukan, dan pegunungan, selamat di Bali, demikianlah anakku engkau dewata sekalian, kamu akan jumpai gunung Agung, sebagai tanda gunung besar, di sebelah timur laut, itu lah gunung mas yang berpuncak manik, berdasar ratna winten, berbatu mirah,berpasir padi, itulah puncaknya gunung Hyang Mahameru dahulu, aku, aku bawa gunung Batur, sebagai dapur candi Hyang Agni yang ada di bawahnya, yang sebagian di bawahnya, aku jadikan gunung Rinjani, sedang pundaknya menjadi Hyang Tolangkir, bernama gunung Agung, puncaknya menjadi pegunungan dan gundukan, dibawah gunung Agung itu seperti, dari Timur menghitunganya, akan diketahui namanya, yaitu gunung Tasahi, di baratnya gunung Pangelengan, dibaratnya gunung Mangu, di baratnya gunung Cilanjana, di baratnya gunung Beratan, di baratnya gunung Batukaru, di baratnya lagi gunung Pulaki, ke tenggara dari sana terdapat gunung Puncaksungkur, bukit Rangda, Trate bang, kesebelah timur lagi ada Padangdawa, sedang di pantai selatan, ada gunung Andakasa dan Huluwatu, terus ke timur di sebelah tenggara tempatnya ada gunung Byaha dan Byasmunting, yang di sebelah timur ada gunung Lempuyang, ke sebelah utara dari sana ada gunung Sraya, demikianlah semuanya yang mengelilingi pulau Bali, dan masih banyak gundukan yang di tengah, yang tidak disebutkan. Itu semua boleh sebagai tempat tinggal membuat Kahyangan para dewata kamu kalian. 3. Prasasti Desa Sading Di dalam prasasti desa Sading antara lain disebutkan bahwa gunung Lempuyang juga disebut “Andri Karang” yang bermakna gunung Karang, dan disana Raja Jayacakti melakukan Samadhi yang akhirnya dalam sejarah perjalannya lebih dikenal dengan sebutan “Karangasem”. Mengenai gunung Lempuyang ini juga erat kaitannya dengan datangnya Raja Jayacakti di Bali, yang dikisahkan sebagai berikut Pada sekitar tahun icaka 1072 tahun 1150 M pada sasih Kasanga, tanggal ping 12, bertepatan dengan bulan separoh terang, wara Julungpujut, Cri Maharaja Jayacakti menyelenggarakan rapat dengan para pimpinan perang utama Rakryan Apatih dan dibawah Rakryan, pada suatu rapat besar, raja berkehendak pergi ke pulau Bali bersama degnan permaisurinya, dan beliau berkeinginan beristana di “Ardri Karang”. Beliau dating ke bali ikut karena ada perintah dari ayah beliau yaitu Sanghyang Guru, dengan tujuan untuk membuat dharma disana di gunung Lempuyang sebagai penyelamat pulau bali, disertai oleh segenap Pandita Ciwa dan Budha, dan Uga Mantri Agung ikut. Disanalah Raja Cri Jayacakti dijadikan raja oleh masyarakat. Tidak senanglah beliau dijadikan raja, oleh karena beliau bertingkah laku baik dan tidak digoyahkan oleh pikiran tamak, loba, ataupun pikiran pamerih didalam masyarakat, segenap abdinya sangant menghormati, sebab beliau raja yg berhasil dan sempurna dalam disiplin bathinnya. Adapun selaku abdinya jumlahnya tidak terhitung banyaknya, dan mantrinya saja yang menghitung, mengatur yaitu berjumlah 400 orang termasuk pasukan dari Jawa. Beliau juga disebut Maharaja Bima ialah Cri Bayu atau Cri Jaya atau Cri Gnijayacakti. Selanjutnya disebutkan sebagai berikut. Dari ketiga buah sumber tersebut dapat diketahui, bahwa sebagai awal berdirinya Pura Lempuyang Luhur ini erat kaitannya dengan tibanya Bhatara Tiga di bali, dimana antara lain disebutkan bahwa Bhatara Tiga tiba di di Bali pada hari Jumat Kliwon, wara Tolu, bertepatan dengan sasih bulan Kalima pada tahun icaka 113 sekitar November 191. Sebagaimana sudah disebutkan terdahulu bahwa diantara Bhatara Tiga itu Bhatara Gnijaya berparhyangan di gunung Lempuyang bukit bisbis. Bhatara Tiga tiba di Bali dari gunung Semeru Jawa Timur atas perintah Bhatara Pacupati, untuk dijadikan junjungan pulau Bali. Sedang peristiwa-peristiwa yang terjadi kemudian seperti tibanya Raja Cri Jayacakti yang kemudian bersemedhi disana adalah merupakan kelanjutan dan kelengkapan semata-mata. Di Pura Lempuyang Luhur ini terdapat suatu yang menarik dan merupakan keistimewaan dan bersifat khusus ialah dengan terdapatnya serumpun bambu “Buluh Gading”. Di dalam ruas-ruas bambu ini akan didapat “tirta” air suci yang lazim disebut “Tirta Pingit”, karena tidak setiap orang yang dating sembahyang kesana akan memperolehnya, melainjkan hanya suatu kelompok keturunan saja yang mendapatkan tirta tersebut, sedang dari warga lainnya tidak mungkin. Pangempon Pura Lempuyang Luhur ialah seluruh kerama desa Puraayu, adapun susunan, jumlah dan nama palinggih bangunan suci yang terdapat di Pura Lempuyang Luhur adalah sebagai berikut Sebuah Padmasana yang terletak pada bagian Utara menghadap ke Selatan sebagai parhyangan Bhatara Luhuring Akasa Dua buah palinggih berbentuk seperti padmasana yang pondasinya menjadi satu terletak pada bagian Timur menghadap ke Barat. Yang sebelah utara sebagai Parhyangan Hyang Gnijaya dan yang di sebelah Selatan sebagai Parhyangan para putera beliau. Sebuah Bale Pawedhan atau Phyasan sebagai tempat meletakkan sajen dan sekaligus sebagai Bale Pawedhan tempat memuja. Sebuah bangunan Gedong Pasimpenan, sebagai tempat menyimpan alat-alat upacara. Palinggih yang terdapat di Pura Lempuyang Luhur, lazim juga disebut Kahyangan “Tri Purusa” yaitu Ciwa, Sadha Ciwa, dan Parama Ciwa sebagai perwujudan Ida Sanghyang Widhi Wasa. Upacara aci atau pujawali di Pura Lempuyang Luhur ada dua jenis yaitu setiap enam bulan Bali 210 hari bertepatan dengan hari Kamis Umanis, wara Dungulan Umanis Galungan dan pada setiap Purnamaning Wesaka Purnama sasih kadasa. Pemangku dari Pura Lempuyng Luhur ini selalu dijabat oleh satu keturunan secara tradisional menurut garis purusa patrilinial, sedang mengenai “pengangge” yang dipergunakan di Pura Lempuyang Luhur ini selalu berwarna putih dan kuning. Bilamana aka diselenggarakan upacara aci atau piodalan seluruh bahan-bahan ramuan disediakan oleh para “Truna” pemuda, sedangkan yang mengerjakannya adalah para “ “Daha” krandan ialah para wanita remaja. Ini dimaksudkan agar, semuannya bersifat suci, karena rohaniah, walaupun kadang-kadang hal ini belum dapat sebagai jaminan mengenai kesucian tersebut. Dalam berbagai sumber lontar atau prasasti kuno, ada tiga pura besar yang sering disebut selain Besakih dan Ulun Danu Batur, yakni Pura Lempuyang. Pura Lempuyang Luhur terletak di puncak Bukit Bisbis atau Gunung Lempuyang, Karangasem. Pura ini diduga termasuk paling tua di Bali. Bahkan, diperkirakan sudah ada pada zaman pra-Hindu-Buddha yang semula bangunan suci yang terbuat dari batu. Pura Lempuyang itu merupakan stana Hyang Gni Jaya atau Dewa Iswara. Bagaimana cikal bakal berdirinya Pura Lempuyang? Ada sebuah informasi berdasarkan pemotretan dari angkasa luar, di ujung timur Pulau Bali muncul sinar yang amat terang. Paling terang dibandingkan bagian lainnya. Namun tak diketahui pasti dari kawasan mana sinar itu, tetapi diduga dari Gunung Lempuyang. Soal arti dari Lempuyang, ada berbagai versi. Dalam buku terbitan Dinas Kebudayaan Bali 1998 berjudul ”Lempuyang Luhur” disebutkan, lempuyang berasal dari kata ”lampu” artinya sinar dan ”hyang” untuk menyebut Tuhan, seperti Hyang Widhi. Dari kata itu lempuyang atau lampuyang diartikan sinar suci Tuhan yang terang-benderang mencorong/ menyorot. Pura Lempuyang itu merupakan stana Hyang Gni Jaya atau Dewa Iswara. Versi lain menilik ”lempuyang” sebagai sebuah kata yang berdiri sendiri. Di Jawa lempuyang itu menunjuk sejenis tanaman untuk bumbu. Hal itu juga dikaitkan ada banjar di sekitar Lempuyang bernama Bangle dan Gamongan, keduanya juga tanaman sejenis yang bisa dipakai obat atau bumbu. Versi lain juga menyebut dari kata ”empu” atau ”emong” yang diartikan menjaga. Batara Hyang Pasupati mengutus tiga putra-putrinya turun untuk mengemong guna menjaga kestabilan Bali dari berbagai gunjangan bencana alam. Ketiga putra-putri itu yakni Bathara Hyang Putra Jaya berstana di Tohlangkir Gunung Agung dengan parahyangan di Pura Besakih, Batari Dewi Danuh berstana di Pura Ulun Danu Batur dan Batara Hyang Gni Jaya di Gunung Lempuyang. Namun, apa pun versi dari lempuyang itu, Pura Lempuyang sendiri memiliki status yang sangat besar, sama seperti Besakih. Baik dalam konsep padma buwana, catur loka pala atau pun dewata nawa sanga. Dalam berbagai sumber lontar atau prasasti kuno, ada tiga pura besar yang sering disebut selain Besakih dan Ulun Danu Batur yakni Lempuyang. Pura Lempuyang Luhur yang terletak sangat tinggi di puncak Bukit Bisbis atau Gunung Lempuyang itu, diduga termasuk pura paling tua di Bali. Bahkan, diperkirakan sudah ada pada zaman pra-Hindu-Buddha yang semula bangunan suci yang terbuat dari batu. Pada sekitar tahun 1950 di tempat didirikannya Pura Lempuyang Luhur kini, baru ada tumpukan batu dan sanggar agung yang dibuat dari pohon. Di bagian timur berdiri sebuah pohon sidhakarya besar yang kini sudah tak ada diduga tumbang atau mati. Barulah pada 1960 dibangun dua padma kembar, sebuah padma tunggal bale piyasan. Kini, pemugaran dan pemugaran pura kian meningkat. Mengutip sejumlah sumber kuno, Jero Mangku Gede Wangi — pemangku di pura itu — mengatakan orang Bali apa pun wangsanya tak boleh melupakan pura ini. Paling tidak sekali waktu menyempatkan diri tangkil sembahyang ke pura ini. Sebab, jika tidak pernah atau lupa memuja Tuhan yang manifestasinya berstana di pura ini, selama hidup bisa tak pernah menemukan kebahagiaan, kerap cekcok dengan keluarga atau masyarakat dan bahkan pendek umur. Kewajiban masyarakat Bali untuk memuja Batara Hyang Gni Jaya di Lempuyang Luhur disebutkan dalam bhisama Hyang Gni Jaya yang tertulis dalam lontar Brahmanda Purana sebagai berikut ”Wastu kita wong Bali, yan kita lali ring kahyangan, tan bakti kita ngedasa temuang sapisan, ring kahyangan ira Hyang Agni Jaya, moga-moga kita tan dadi jadma, wastu kita ping tiga kena saupa drawa.” Jero Mangku Gede Wangi mengatakan, untuk memulai belajar ilmu pengetahuan, apalagi ilmu keagamaan Hindu, sangat baik jika dimulai dengan mohon restu di Pura Lempuyang Luhur. Selain itu, banyak pejabat suka bertirtayatra ke pura ini. Jero Mangku Gede Wangi menyampaikan, di Pura Lempuyang Luhur terdapat tirta pingit di pohon bambu yang tumbuh di areal Pura Luhur. Saat umat nunas tirta, pemangku pura usai ngaturang panguning akan memotong sebuah pohon bambu. Air suci/tirta dari pohon bambu itu di-pundut untuk muput berbagai upacara, kecuali manusa yadnya. ”Siapa pun tak boleh berbuat buruk seperti campah di pura, jika tak ingin kena marabahaya,” ujar Jero Mangku. Pengayah Saat pujawali tak terlalu besar pengayah. Biasanya dari Desa Pakraman Purwayu saja. Namun, jika pujawali besar seperti Batara Turun Kabeh dan Batara Masucian ke Segara, pengayah turun dari enam desa pakraman di sekitarnya, seperti Purwayu, Segeha, Basangalas, Ngis, Tista dan Gulinten. Pada pujawali, pengayah ngamedalang Ida Batara dari pasimpenan di dekat areal parkir pertama. Ida Batara kapundut teruna pemuda dan krandan remaja putri. Sebelum ngayah, mereka mesti mabyakawon mensucikan diri di areal Pura Pesimpenan. Ida Batara kairing ke bale piasan Pura Penataran untuk mahias, lalu masucian ke Pura Telaga Mas, kairing munggah ke Pasar Agung dan masandekan sebentar. Berikutnya, barulah kairing ke Luhur dan kalinggihang, kaaturan panyejer tiga hari. Pujawali tiap enam bulan yakni puncaknya pada Wraspati Umanis Dunggulan. * gde budana Langgar Pantangan, Bisa ”Sengkala” ADA sejumlah pantangan yang jika dilanggar bisa berakibat buruk. Saat naik ke Lempuyang Luhur, kata Jero Mangku Gede Wangi, sejak awal pikiran, perkataan dan perbuatan harus disucikan. Tak boleh berkata kasar saat perjalanan. Selain itu, orang cuntaka, wanita haid, menyusuai, anak yang belum tanggal gigi susu sebaiknya jangan dulu masuk pura atau bersembahyang ke pura setempat. Jero Mangku mengatakan, pernah ada rombongan orang sembahyang naik Isuzu dari Negara. Rupanya, sebelum ke Lempuyang rombongan itu melayat orang meninggal lebih dahulu. Mobil rombongan itu pun jatuh terperosok karena tak bisa naik di tanjakan sebelah atas rumah Mangku Pasek. ”Saya dengar salah seorang rombongan sudah mencegah agar jangan langsung ke Pura Lempuyang, tetapi saran itu tak gubris,” ujar Jero Mangku. Selain sejumlah larangan itu, juga umat yang hendak ke Lempuyang Luhur juga tidak diperkenankan membawa perhiasan emas. Soalnya, umat yang menggunakan perhiasan emas, perhiasan itu kerap hilang misterius. ”Membawa atau makan daging babi saat ke Lempuyang Luhur juga sebaiknya tak dilakukan, karena daging babi itu terbilang cemer. Pantangan ke Pura Lempuyang, hampir sama dengan ke Pura Luhur Batukaru,” kata lulusan APGAH ini. Jero Mangku mengatakan, masyarakat dan umat yang naik ke Gunung Lempuyang diharapkan tak berbuat buruk, seperti mengambil tanaman, melakukan corat-coret di jalan atau di pura. ”Sampah terutama sampah plastik hendaknya dibawa atau dibuang di tong sampah yang tersedia. Berbakti kepada Tuhan bukan cuma lewat sembahyang, tetapi juga dengan jalan karma marga seperti menjaga kebersihan lingkungan alam atau pura,” katanya. Jero Mangku mengatakan, belum pernah ada orang yang menghitung pasti berapa sebenarnya jumlah tangga naik ke Pura Luhur yang berketinggian lebih dari meter. Ada yang mengatakan tangga, ada juga yang mengatakan Sementara itu, dosen STKIP Agama Hindu Amlapura Drs. IP Arnawa, mengatakan, cuma bersembahyang –insidental — ke Pura Lempuyang Luhur disebutkan tak harus melakukan pelukatan saat masuk pura. Soalnya, selain ke Lempuyang Luhur umat bisa melukat di pesucian Telaga Mas, saat naik menuju Pura Luhur yang tinggi berbagai kotoran tubuh juga berangsur disucikan. Soalnya, ribuan kali menghela napas seperti saat pranayama, keringat keluar. ”Sembahyang sampai ke Pura Lempuyang Luhur merupakan pendakian spiritual. Umat yang benar-benar niatnya kuat dilandasi Tri Kaya Parisudha yang mampu dengan mudah mampu mencapai Pura Luhur. Jika ragu-ragu atau tak tulus bisa terjadi halangan, seperti kepayahan bahkan terjatuh di jalan,” ujar Arnawa. Empat Jalur Sesungguhnya ada empat jalur/rute untuk mencapai Pura Lempuyang Luhur. Berdasarkan buku yang disusun Dinas Kebudayaan Bali 1998, bisa lewat Desa Purwayu. Dari rute ini bisa melewati Pura Penyimpenan, Penataran Agung, Telaga Mas, Pasar Agung barulah ke Lempuyang Luhur. Dari jalur melewati Banjar Gamongan, melewati Pura Lempuyang Madya, terus naik ke Pura Telaga Sawang dan Pura Pasar Agung. Sementara dari Banjar Batu Gunung, Desa Bukit melewati Pura Angrekasari, melewati lokasi Tirta Suniamerta, Tirta Jagasatru, Tirta Manik Ambengan, Pura Penataran Silawana Hyangsari, Tirta Sudamala, Tirta Empul, Pura Windusari, Pura Pasar Agung panyawangan terus ke Lempuyang Luhur. Jalur terakhir melewati Banjar Jumenang, melewati Pura Penataran Kenusut, Pura Pasar Agung penyawangan dan naik ke Lempuyang Luhur. Memuja Sang Hyang Iswara Om Asato ma sadgamaya Tamaso ma jyotir gamaya Mrtyor ma amrtam gamaya. Brhad Aranyaka Upanisad Artinya Tuhan bimbinglah kami dari ketidakbenaran asat menuju jalan kebenaran satya yang sejati. Bimbinglah kami dari kegelapan tamasa menuju jalan yang terang benderang jyotih. Bimbinglah kami dari kematian rohani mrta menuju kehidupan yang kekal abadi amrtam. Pura Lempuyang Luhur terletak di bagian timur Pulau Bali. Tepatnya di Desa Purahayu Kecamatan Abang, Karangasem. Di Bukit Gamongan atau Bukit Bisbis atau Gunung Kembar berdiri hening Pura Lempuyang Luhur. Menurut buku Upadesa, pura ini salah satu dari Pura Sad Kahyangan di Bali, tempat memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Iswara. Memuja Tuhan sebagai Sang Hyang Iswara sebagai pelindung arah timur - arah terbitnya matahari. Dewa sinar matahari itu disebut juga Dewi Savita atau Dewi Savitri. Pemujaan pada Sang Hyang Iswara untuk mengarahkan diri agar mendapatkan sinar pencerahan hidup jyotir. Sebagaimana dinyatakan dalam kutipan Brhad Aranyaka Upanisad di atas bahwa dengan sinar suci yang disebut jyotir itu kita akan melepaskan jiwa dari kegelapan yang disebut tamasa. Dari kehidupan yang jyotir atau jiwa yang cerah itulah kita bebas dari kematian rohani menuju kehidupan yang sejati yang disebut amrtam. Pura Lempuyang Luhur dan Pura Sad Kahyangan lainnya didirikan pada abad ke-11 Masehi saat Mpu Kuturan mendampingi Raja Udayana memerintah Bali bersama permaisurinya. Pura Sad Kahyangan didirikan untuk melindungi Bali agar masyarakatnya tetap melakukan hal-hal yang dibenarkan menurut ajaran agama. Dalam Lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul dinyatakan Sang Hyang Parameswara membawa gunung-gunung yang ada di Bali dari Jambhudwipa India, dari Gunung Mahameru. Potongan Gunung Mahameru itu dibawa ke Bali dan dipecah menjadi tiga bagian besar dan juga bagian-bagian kecil. Bagian tengahnya dijadikan Gunung Batur dan Gunung Rinjani, sedangkan puncaknya menjadi Gunung Agung. Pecahannya yang lebih kecil menjadi leretan gunung-gunung di Bali yang berhubungan satu sama lainnya. Gunung-gunung tersebut antara lain Gunung Tapsahi, Pengelengan, Siladnyana, Beratan, Batukaru, Nagaloka, Pulaki, Puncak Sangkur, Bukit Rangda, Trate Bang, Padang Dawa, Andhakasa, Uluwatu, Sraya dan Gunung Lempuhyang. Dalam bahasa Jawa Kuno Lempuhyang artinya ''gamongan''. Dibawanya leretan gunung-gunung yang mengelilingi Pulau Bali ini oleh Sang Hyang Parameswara sebagai stana para dewa manifestasi Tuhan untuk menjaga Bali. Dalam Lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul itu juga dinyatakan bahwa Sang Parameswara menugaskan putranya Sang Hyang Agnijayasakti turun ke Bali dan menjaga kesejahteraan Bali dan berstana di Gunung Lempuhyang atau Gunung Gamorangan bersama dengan dewa-dewa lainnya. Dalam prasasti Sading C tahun 1072 Saka dinyatakan bahwa Gunung Lempuhyang juga bernama Gunung Adri Karang. Di Gunung Adri Karang inilah Raja Jayasakti bersemadi, karena itulah gunung itu juga bernama Karangsemadi. Raja Jayasakti diperintahkan oleh ayah beliau Sang Hyang Guru untuk turun ke Bali membangun pura agar menjadi daerah yang aman dan sejahtera. Raja Jayasakti mengajak para pandita dan para pembantunya serta rakyat untuk mewujudkan perintah Sang Hyang Guru membangun Bali dengan diawali pembangunan pura di Gunung Lempuhyang sebagai stana pemujaan Tuhan sebagai Sang Hyang Iswara. Sebelumnya Raja Jayasakti melakukan semadi sebagai langkah awal membangun kehidupan yang aman sejahtra di Bali. Dalam Wrehaspati Tattwa dinyatakan bahwa citta atau alam pikiran itu memiliki empat kekuatan yaitu dharma, jnyana, variragia dan aiswaria. Jadi, aiswaria itu adalah salah satu kekuatan untuk terus mendorong hati nurani umat manusia agar terus meningkatkan pencerahan diri sebagai sinar suci menuntun hidup menuju yang semakin suci untuk mewujudkan kebenaran dan keharmonisan. Karena itulah Iswara sering juga diartikan pemimpin. Idealnya pikiran yang cerah itulah ibarat sinar yang menerangi hidup manusia sehingga bisa hidup mengatasi kegelapan hati. Karena itu di Pura Besakih ada Pura Gelap untuk memuja Sang Hyang Iswara di arah timur Pura Penataran Agung Besakih. Kata ''gelap'' atau ''kilap'' dalam bahasa Jawa Kuno artinya sinar. Bukan berarti gelap seperti dalam bahasa Indonesia. Karena itulah dari Pura Lempuyang inilah Raja Jayasakti mendapatkan sinar terang kerohanian untuk memimpin di Bali bersama dengan para pembantu dan rakyatnya dengan waranugeraha Tuhan dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Iswara, pemelihara dan pelindung arah timur alam semesta. Dari Pura Lempuyang inilah dipancarkan sinar kepemimpinan religius untuk menerangi jiwa raga rakyat Bali mewujudkan cita-cita hidupnya membangun Bali yang aman sejahtera. * Ketut GobyahDijaba tengah ini kita menoleh ke kiri lagi ada sebuah bak air yang selalu berisi air meskipun musim kering sekalipun. Hal ini dianggap suatu keajaiban dari Pura Luhur Uluwatu. Sebab, di wilayah Desa Pecatu adalah daerah perbukitan batu karang berkapur yang mengandalkan air hujan. Karena ada keajaibannya, maka bak air itu dikeramatkan. Akhir tahun 2015, usai menyelam sehari di sekitaran area Padangbai, mencoba menjelajah area Karangasem, Bali Timur. Konon, daerah Karangasem ini memang merupakan kawasan peradaban tertua di Bali. Salah satu yang menarik dan direferensikan saat itu adalah Pura Lempuyang dan Desa Adat Tenganan. Jika Pura Besakih merupakan kompleks pura terbesar di Bali, nah kalau Pura Lempuyang ini memiliki status yang sama pentingnya dengan Pura Besakih. Bahkan Pura Lempuyang ini diduga paling tua keberadaaanya di Bali. Lempuyang sendiri berasal dari kata “lampu”, yang artinya sinar dan “hyang” untuk menyebut Tuhan, sehingga Lempuyang diartikan sinar suci Tuhan yang terang benderang. Komplek Pura Lempuyang ini terdiri dari tujuh pura yang terletak di lereng Gunung Lempuyang. Menarik sekaligus menantang, dan masih jarang wisatawan yang singgah ke sana. Lebih banyak didominasi oleh penduduk lokal yang berkunjung untuk berdoa. Karena buat masyarakat Hindu Bali, selayaknya, mereka memang harus pernah dan menyempatkan diri untuk sembahyang di Pura ini. Ternyata, akhir-akhir ini, area penataran Pura Lempuyang, menjadi tempat yang instagrammable dan sering dikunjungi wisatawan lokal maupun mancanegara, untuk berpose di antara gapura dan jika beruntung langit sedang cerah, dapat latar pemandangan gunung Agung di belakangnya. Jadilah, pertengahan tahun 2018, datang kembali mengajak teman, untuk berburu foto di halaman pura tersebut, karena sebelumnya datang sendirian dan lebih menikmati perjalanan hingga ke puncak gunung Lempuyang. Tiba di area parkiran Pura Lempuyang, sudah disambut oleh pemandangan sebuah pura yang cukup megah. Namun pengunjung harus lapor dulu dan membayar tiket, sebelum benar-benar masuk dan melihat pura megah tersebut. Di sana tersedia pemandu lokal yang siap mengantar. Beliau menjelaskan gambaran rutenya, dimana nanti akan ada persimpangan, yang satu bisa langsung menuju ke pura Lempuyang Luhur, yang berada di puncak gunung Lempuyang, dan satu lagi rute panjang, dimana pengunjung bisa melewati ketujuh pura yang ada di lereng gunung tersebut. Waktu yang diperlukan lebih kurang tiga sampai empat jam dengan jalan santai. Saat itu, ingin sekali didampingi pemandu, hanya sekedar demi memotret diri, tapi karena terlalu mahal, akhirnya nekad jalan sendiri, dan diberi peta jalan, agar tidak tersesat nantinya. Oh ya, seperti layaknya pura lainnya di Bali, kita wajib memakai sarung, meski sudah pakai celana panjang, dipadu dengan busana atasan yang sopan atau berlengan. Boleh bawa sarung sendiri atau sewa di loket masuk. Matahari masih ada di sisi timur, masih pagi dan teriknya belum terlalu menyengat, ketika memulai langkah masuk ke pura yang pertama, Pura Penataran Lempuyang. Pura yang besar dan megah, yang sudah tampak sejak di lokasi parkiran tadi. Beberapa bapak-bapak berseragam kaos hijau sedang membersihkan area pelataran. Mereka bukan tukang sapu, tapi paguyuban umat Hindu di sekitar pura yang kerja bakti pagi itu. Mereka selesai sembahyang dan memungut sampah di halaman depan pura, kemudian berfoto bersama. Alhasil jadi tukang foto dadakan dech, padahal maksud hati ingin difotokan, hehehe… Dari pura pertama ke pura berikutnya cukup jauh jaraknya. Jalan penghubungnya masih berupa aspal dan bisa ditempuh dengan ojek sebenarnya, namun pagi ini membiarkan memberi pemanasan pada kaki, sebelum benar-benar naik ke puncak. Pura kedua adalah Pura Telaga Emas, tidak jauh dari lokasi parkiran ojek, titik terakhir dimana kendaraan boleh naik. Puranya ditandai dengan warna emas pada atapnya. Sepagi ini, sudah ada sekelompok penduduk lokal yang sembahyang di sana. Setelah dari Pura Telaga Emas, jalanan mulai tertata rapi berupa undakan tangga dari semen dengan kanan kiri pohon, mulai terasa suasana hutan. Jangan khawatir tersesat, ikuti saja jalannya, sampai menemukan pertigaan, seperti yang dikatakan pemandu di awal. Panah satu menuju Lempuyang Luhur, atau langsung menuju puncak, panah satu lagi menuju Lempuyang Madya, dengan rute panjang. Kanan kiri jalan mulai tampak warung yang menjajakan minuman segar dan makanan. Namun karena langkah masih belum jauh, sehingga diniatkan untuk lanjut jalan saja. Tidak jauh dari pertigaan tersebut, ketemulah dengan Pura Telaga Sawang. Pura kecil namun mulai terasa berpijak di ketinggian. Depan gapuranya menghadap ke lereng bukit, sehingga warna hijau daun dan langit biru berpadu dengan cantik. Sudah jauh dari pemukiman warga dan hiruk pikuk kota. Melangkah lagi dengan santai dan menikmati udara pegunungan, akhirnya sampai di Pura Lempuyang Madya. Komplek puranya cukup luas dan banyak penduduk lokal yang sedang berdoa di sana. Salah seorang pemangku adat mengundang masuk ke padepokan dan menawarkan jajanan berupa buah-buahan segar. Ngiler sich, namun berusaha menolak dengan halus, karena sungkan, hehehe…. Setelah ngobrol banyak, pemangku menawarkan ikut temannya yang hendak berjalan naik, giliran tugas memimpin doa di puncak, katanya. Pemangku tampaknya khawatir membiarkan seorang perempuan jalan sendiri menuju ke puncak. Namun karena tidak ingin menjadi beban, akhirnya memilih berjalan santai dan menjaga jarak dengan teman pemangku tersebut. Menikmati alam tanpa dikejar target dan waktu. Jalanan dari Lempuyang Madya terus menanjak, namun tetap melewati rute rapi dengan tanjakan berupa semen. Rute tangga yang tertata rapi ini, menjadi penunjuk jalan yang sangat efektif. Tidak banyak sampah ditemukan di jalanan, karena kebanyakan pendatang adalah orang lokal yang niatnya berdoa dan sangat menjaga alam ini. Semoga, wisatawan lain yang ingin mencoba berkunjung setelah membaca ini, tetap bisa menjaga kebersihannya ya. Banyak tempat sampah disediakan di kanan kiri jalan, jadi manfaatkanlah. Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya tiba di tulisan Puncak BisBis. Terpikir bahwa area puncak sudah dekat setelah ini, namun ibu-ibu di warung dekat Puncak Bisbis berkata bahwa ini masih separu perjalanan, masih jauh untuk sampai puncak. Dan mereka menawarkan untuk jalan bareng, karena setelah ini, rutenya merupakan kawasan geng monyet alias banyak monyet hutan yang siap “ngompas” di tengah jalan. Setelah menunggu mereka berdoa sejenak di Pura Puncak Bisbis, akhirnya perjalanan dilanjutkan. Salut juga, beberapa peserta rombongan ini ada yang umurnya 60 tahun lebih tapi masih kuat jalan. Meski melangkah dan menapaki tangga perlahan, namun mereka tetap semangat. Sambil sesekali memotret wajah mereka, menjadi hiburan tersendiri buat mereka untuk mengusir lelah. Saat berhenti sejenak untuk tarik nafas dan istirahat, mereka menawarkan bekal cemilan. Solo traveler never alone bukan, hehhehe… Jalanan terus menanjak, sampai akhirnya tiba di gapura besar. Menarik nafas lega, karena jalanan tampak habis, seolah ini adalah puncaknya. Ternyata salah. Ini adalah pura Pasar Agung dan menuju puncak masihlah perjuangan, karena di balik pura tersebut, terdapat jalur menanjak lagi untuk menuju puncak. Rombongan ibu-ibu masih istirahat dan sembahyang, sehingga saatnya ijin pamit dan membiarkan kaki ini lanjut melangkah mengejar rasa penasaran. Jalanan masih saja rapi dengan tangga dan sempat ketemu sepasang suami istri yang mau sembahyang di puncak. Mereka mengajak jalan bareng, karena setelah inilah, serbuan geng monyet beneran dimulai. Dan benar saja, monyet-monyet itu sangat peka dengan bunyi kresek-kresek dan langkah kaki manusia. Cukup bawa tongkat untuk mengusir mereka menjauh. Wajah kita harus cukup garang untuk mengusir monyet tersebut, karena mereka bener-bener seperti preman di kawasan sini. Setelah disibukkan dengan monyet-monyet tersebut, justru tidak terasa, akhirnya sampailah di Puncak Lempuyang Luhur. Tampak beberapa rombongan sedang berdoa di Pura Lempuyang Luhur. Gerbang Gapura tepat menghadap ke Puncak Gunung Agung. Sungguh pemandangan yang sangat istimewa. Empat jam perjalanan terbayar sudah lelahnya, menapak di mdpl tanah Bali. Tidak ada wisatawan satupun yang berkunjung hari itu, semuanya para penduduk lokal yang niatnya berdoa. Suasana masih sangat sakral disana. Kita bebas foto asal tidak membuat kegaduhan dan mengganggu jalannya upacara adat. Sampai di puncak pun ada beberapa penjaja makanan yang berjualan, menyambut pendatang yang lelah atau lapar. Awas, siap-siap rebutan dengan monyet yang tiba-tiba muncul merebut, hehehe… Perjalanan turun jauh lebih cepat, hanya memakan waktu satu jam saja. Dengan terik mentari yang mulai menyengat dan perut kosong, serasa memacu langkah lebih cepat untuk tiba di parkiran. Setelah sekian lama menjelajah Bali, tidak menyangka ada komplek pura di lereng Gunung Lempuyang ini. Bangga juga, Indonesia punya peninggalan seperti ini. Masih sakral dan alami. Semoga wisatawan nantinya yang ingin menapakai perjalanan “ritual” di komplek ini, mau turut bertanggung jawab menjaga alam dan kebersihannya. Saat ini, memang sudah mulai ramai oleh pengunjung, namun sebatas sampai di Pura Penataran Lempuyang, karena memang pemandangan dari penataran saja sudah sangat menarik. Bahkan, beberapa pemandu lokal juga menyewakan kaca, untuk mendapatkan hasil foto dengan efek mirroring, seperti kalau foto di depan danau, dimana bayangan pada air akan memantulkan gambar serupa. perjalanan berlanjut ke Desa Adat Tenganan… based on our journey on 31 Dec 2015 & 3 Jun 2018 Has published Tribun Jateng, 21 Juli 2016 Harian Surya, 13 Des 2020 Youtube Harian Surya Views 1,849 JadiSaiva Siddhanta adalah paham yang berisikan ajaran - ajaran dari Tuhan Siva. Jadi dapat dikatakan bahwa (paksha atau Sampradaya) itu adalah paham yang berkembang pesat di daerah India selatan. Begitulah perkembangan Siwaisme sebagai pembangkit spiritual di negara asli asal agama Hindu. Harga Tiket Map Cek Lokasi Alamat Kec. Karangasem, Kab. Karangasem, Karangasem memiliki tempat wisata terkenal seperti Pura Lempuyang Madya yang berada di bukit bisbis atau Lempuyang. Salah satu pura tertua di Bali ini berada di kawasan Lempuyang yang memiliki beberapa pura dari paling bawah hingga puncak namanya, pura ini berada di bagian madya atau tengah. Pengunjung melewati beberapa anak tangga untuk sampai ke bangunan pura. Pemandangannya indah dan menyegarkan dengan pesona Gunung Agung yang ada di sisi ini bisa menjadi destinasi wisata religi dan juga petualangan alam. Bangunan suci umat Hindu ini memang berada di kawasan perbukitan yang masih asri. Pengunjung terutama wisatawan akan mendapatkan pengalaman liburan yang tak terlupakan. Apalagi ada banyak hal menarik yang ditawarkan wisata Pura Lempuyang Madya seperti Tarik Pura Lempuyang Madya1. Pura Tertua di Bali2. Suasana Sejuk di Ketinggian3. Pemandangan Gunung Agung4. Hutan yang Rindang5. Panorama SunsetAlamat dan Cara Menuju LokasiHarga Tiket Masuk Pura Lempuyang MadyaRagam Aktivitas yang Menarik Dilakukan1. Trekking Anak Tangga2. Menikmati Pemandangan3. Berfoto4. Makan-makanFasilitas Penunjang di Pura Lempuyang MadyaDaya Tarik Pura Lempuyang MadyaPhoto by Google Maps I Wayan Jata Ariantara1. Pura Tertua di BaliPura Lempuyang yang berada di Bukit Lempuyang, Karangasem merupakan bangunan suci umat Hindu yang sudah berdiri lama. Umurnya sudah ratusan tahun sejak dibangun pada sekitar abad ke-8. Anda yang datang ke sini dapat melihat bangunan pura tertua yang ada di umur pura yang sudah ratusan tahun, tempat ini juga menjadi kawasan wisata yang memiliki tidak hanya satu pura. Sebelum Lempuyang Madya, pengunjung akan melewati Pura Penataran Agung yang menjadi bagian paling bawang dari Pura pura ini memiliki keindahan dan daya tariknya tersendiri. Lempuyang Madya berada di tengah dengan beberapa bangunan pura yang sering digunakan untuk sembahyang. Pada acara-acara keagamaan seperti Galungan, kawasan pura ini akan dipenuhi masyarakat yang akan wisatawan dapat mengunjungi beberapa pura di tempat ini. Selain Lempuyang Madya, wisatawan bisa mengunjungi Pura Pasar Agung yang terkenal dengan kawanan monyet, Pura Telaga Sawang, Pura Lempuyang Luhur atau Pura Puncak Bisbis yang paling tinggi dengan bangunan gapura yang sangat terkenal di kalangan Suasana Sejuk di KetinggianKawasan wisata suci ini berada di daerah perbukitan yang memiliki suhu udara cukup dingin. Pura Lempuyang Madya berada di ketinggian lebih dari 1100 meter. Wisatawan disarankan untuk berkunjung pada siang hari atau saat cerah agar bisa menikmati pemandangan di sekitarnya dengan lebih yang berada di ketinggian ini terkadang diselimuti kabut tipis. Panorama alam di sekitar pura pun akan sedikit terhalang dan berubah menjadi pemandangan putih dari kabut Pemandangan Gunung AgungPhoto by Google Maps nathania coSelain bangunan pura yang indah, daya tarik tempat ini adalah Gunung Agung yang tampak gagah. Pemandangan dari gunung suci masyarakat Bali tersebut memang menjadi nilai tambah dari tempat wisata pura alam dari gunung yang terkenal di Bali ini dapat dinikmati dari semua titik, termasuk di Lempuyang Madya. Gunung yang menawan ini terlihat seperti pengayom yang melindungi alam-alam di Hutan yang RindangKawasan wisata di Karangasem ini memang lokasinya berada di tengah-tengah hutan yang asri. Kondisi alamnya masih terjaga dengan baik sehingga pengunjung Pura Lempuyang Madya dapat melihat berbagai panorama alam seperti hutan, sungai, dan gunung dalam satu ini terkenal dengan trekking anak tangga yang cukup melelahkan. Beruntungnya di sekitar tempat ini banyak dikelilingi hutan yang rindang yang akan memanjakan mata setiap pengunjung. Pepohonan hijau dan beberapa satwa seperti monyet menjadi pesona tersendiri yang mengundang banyak Panorama SunsetPanorama matahari terbenam yang lenyap di balik Gunung Agung menjadi magnet wisatawan. Pemandangan menawan dari langit senja di sekitar kawasan pura membuat suasana semakin hangat dan dan Cara Menuju LokasiPhoto by Google Maps Vanessa ChablisBerada di Kabupaten Karangasem, Pura Lempuyang Madya merupakan tempat wisata di sisi timur Bali yang dapat ditemukan di Desa Bunutan Abang. Jika Anda datang dari Denpasar, tempat ini memang cukup menuju kawasan wisata Pura Lempuyang memakan waktu sekitar 2 jam dari Kota Denpasar. Anda bisa mengikuti rute menuju Karangasem, papan penunjuk arah ke lokasi ini sudah cukup banyak sehingga wisatawan dapat lebih mudah untuk sampai di kawasan pura justru akan lebih sulit untuk menemukan Lempuyang Madya. Lokasi pura ini memang sedikit membingungkan terutama untuk wisatawan yang baru pertama kali dapat parkir di pintu masuk atau di area Pura Penataran Agung Lempuyang. Setelah itu, lanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menaiki beberapa anak tangga hingga ke Telaga Mas. Jika Anda naik lagi, maka akan menemukan puncak tertinggi yaitu Pura Puncak untuk Lempuyang Madya, Anda bisa belok mengikuti petunjuk arah yang ada. Setelah melewati Telaga Mas, Pengunjung bisa melihat papan bertuliskan Pura Lempuyang Luhur, Pura Telaga Sawang, Pura Puncak Bisbis, Pura Pasar Agung Lempuyang, dan tentunya Lempuyang di bagian tengah ini memiliki ketinggian 10 meter di atas area paling bawah. Selain dengan jalan kaki, ada juga akses kendaraan untuk sampai ke lokasi pura tetapi jalannya cukup sempit dan berkelok. Butuh kendaraan yang prima dan pengemudi yang handal untuk melewati jalanan ragu untuk bertanya ke Bli atau petugas yang berjaga agar tidak salah arah untuk mencapai Lempuyang Tiket Masuk Pura Lempuyang MadyaPhoto by Google Maps Diah Sastri PitanatriSetiap wisatawan yang berkunjung ke kawasan wisata Pura Lempuyang dikenai tiket masuk sebesar Rp . Harga tiket masuk tersebut berlaku untuk wisatawan lokal. Setelah membayar tiket masuk, wisatawan dapat memasuki kawasan pura melewati Gapura Paduraksa dan mencapai bagian tengah untuk melihat Pura Lempuyang ini buka setiap hari, mulai pukul WITA hingga pukul WITA. Jika ingin menjelajah lebih banyak tempat, sebaiknya Anda datang pagi hari. Disarankan juga datang saat cuaca cerah karena biasanya saat mendung atau berkabut, jarak pandang akan berkurang yang sedikit menyulitkan pengendara maupun Aktivitas yang Menarik DilakukanPhoto by Google Maps Bayu Airlangga1. Trekking Anak TanggaLiburan sambil berolahraga, ya itulah yang ditawarkan dari destinasi religi di Karangasem ini. Pengunjung yang ingin melihat bangunan pura harus berjalan kaki dengan menaiki beberapa anak dari tempat parkir menuju kawasan pura, mungkin Anda membutuhkan waktu sekitar beberapa puluh menit. Lebih cepat lagi jika Anda menggunakan kendaraan yang langsung parkir di Lempuyang sedikit menguras tenaga, wisatawan dapat menikmati trekking sambil melihat-lihat panorama alam di sekelilingnya yang masih sangat asri. Wisatawan juga bisa melanjutkan perjalanan lagi menuju area paling tinggi yaitu Pura Agung Lempuyang atau Pura Puncak Bisbis dengan menaiki ribuan anak Menikmati PemandanganSaat cuaca sedang cerah, pengunjung Pura Lempuyang Madya dapat menikmati pemandangan alam dengan lebih puas. Jauh dari pura, pengunjung bisa menyaksikan keindahan Gunung Agung. Gunung paling terkenal di Bali ini jaraknya belasan kilometer dari kawasan Pura sore hari, pengunjung dapat menikmati pemandangan matahari terbenam di sisi barat Gunung Agung. Panorama alam yang memukau untuk mengakhiri perjalanan liburan Anda di pura indah BerfotoPemandangan yang menakjubkan dari bangunan pura yang berusia ratusan tahun dan panorama alam yang menawan memang dapat menyihir siapa saja yang melihatnya. Namun, jangan sampai lupa untuk berfoto-foto di tempat yang sampai di Pura Lempuyang Madya dapat berfoto di bangunan gapura yang menghadap pemandangan hijau dari hutan di sekitarnya. Walaupun dua gapura di pura ini tidak setinggi yang ada di Pura Agung Lempuyang, pemandangannya tidak kalah cantik untuk latar foto dengan Anda mengenakan sarung khas Bali, Anda bisa menghasilkan foto-foto yang instagramable. Pura dengan arsitektur khas Bali yang dibangun dari bebatuan hitam menjadi spot foto yang tidak boleh Makan-makanPerjalanan wisata di sini memang membutuhkan banyak tenaga. Setelah lelah berjalan kaki, Anda bisa berhenti sejenak untuk makan. Silahkan wisatawan untuk menikmati makanan di tempat yang sudah disediakan. Namun, jangan lupa untuk tidak membawa olahan dari daging babi yang menjadi salah satu pantangan di tempat Penunjang di Pura Lempuyang MadyaPhoto by Google Maps Tranz WisataDi bagian paling bawah, terdapat tempat parkir pengunjung. Kendaraan roda dua maupun roda empat dapat parkir di sini. Tempat parkir di kawasan ini tidak terlalu luas, tetapi ada petugas yang mengatur sehingga pengunjung tidak perlu juga toilet yang bersih dan nyaman di beberapa titik. Pengunjung bisa meminta bantuan dari petugas jika kesulitan untuk menemukan toilet warung kecil menjadi fasilitas penunjang untuk wisatawan yang berlibur di kawasan pura ini. Pengunjung bisa membeli makanan dan minuman untuk mengobati rasa lapar dan lelah setelah berkeliling beberapa hal menarik dari Pura Lempuyang Madya yang menjadi salah satu tempat wisata di kawasan Karangasem, Bali. Tempatnya nyaman walaupun jalan untuk sampai ke kawasan ini cukup ekstrem. . 135 373 338 76 244 474 381 118